MANADO — Polemik sengketa lahan tambang di Desa Tobongon, Kecamatan Modayag, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), kian memanas.
Kuasa hukum Hasmawati Mamonto, seorang pengusaha tambang rakyat di Boltim, kembali melayangkan somasi kedua kepada anggota DPRD Boltim dari Partai Nasdem, Aliambri Matiala, atas dugaan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.
Somasi yang dikirim pada Rabu (16/7/2025) tersebut, diteken langsung oleh Firman Mustika, SH, MH., bersama Ronald Sompie dari kantor hukum Firman Mustika & Partners.
Dalam somasi setebal beberapa halaman itu, pihak kuasa hukum menegaskan keberatan kliennya terhadap tindakan Aliambri yang diduga menggunakan jabatannya untuk mengintervensi proses pengukuran lahan pertambangan rakyat, hingga memicu keresahan di masyarakat.
“Klien kami adalah pengusaha yang telah mengabdikan dirinya lebih dari 40 tahun membangun usaha yang menjadi tumpuan hidup ribuan pekerja dan keluarga mereka. Namun saat ini kenyamanan dan kelangsungan usaha itu terusik oleh tindakan yang kami nilai tidak netral dan cenderung provokatif dari yang bersangkutan,” tegas Firman dalam keterangannya.
Somasi itu menyebut bahwa Aliambri Matiala, yang menjabat sebagai anggota Komisi II DPRD Boltim, diduga menandatangani sebuah surat kesepakatan pada 18 Juni 2025, yang kemudian menimbulkan konflik karena dalam kapasitas ganda: sebagai anggota DPRD sekaligus sebagai pemilik usaha tambang di lokasi yang sama.
“Apakah Bapak Aliambri Matiala menandatangani Surat tersebut, Bapak sebagai Pengusaha (memiliki lubang pertambangan) atau Anggota DPRD Kabupaten Boltim di Komisi II dari Partai Nasdem?,” tulis kuasa hukum dalam isi somasi.
Kuasa hukum menegaskan tindakan ini dinilai melanggar prinsip netralitas dan melampaui batas kewenangan sebagai wakil rakyat.
“Berdasarkan keterangan dari pihak pemerintah daerah, bahkan ada permintaan langsung dari yang bersangkutan untuk melakukan pengukuran di lokasi. Ketika hasil pengukuran tidak sesuai harapan, beliau malah mengancam akan membawa masalah ini ke Dinas ESDM Provinsi,” ungkap Firman, mengutip isi somasi.
Pihak pengusaha juga menyoroti bahwa jika masalah ini terus berlarut, bukan hanya mengganggu usaha Hasmawati tetapi juga berpotensi memicu konflik horizontal di tengah masyarakat. Mereka mendesak agar Aliambri Matiala memberikan klarifikasi dalam waktu 3×24 jam sejak somasi diterima.
“Kami tidak ingin masuk dalam ranah politik praktis. Kami hanya ingin bekerja dengan tenang, memberi nafkah pada ribuan keluarga, tanpa intervensi dari pihak yang seharusnya justru melindungi masyarakat,” tambah Firman.
“Kami hanya menginginkan ketenangan dan keberlangsungan usaha. Kami tak ingin terseret dalam konflik politik praktis. Harusnya, seorang anggota DPRD menjaga netralitas dan berpihak pada rakyat,” tegas isi somasi.
Somasi kedua ini sendiri merupakan tindak lanjut setelah somasi pertama yang dikirim pada 7 Juli lalu juga tidak mendapatkan tanggapan memadai dari yang bersangkutan.
Pihak kuasa hukum bahkan mengingatkan bahwa tindakan Aliambri bisa melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang larangan rangkap jabatan DPRD, serta Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 12 huruf I tentang penyalahgunaan pengaruh jabatan untuk kepentingan pribadi.
Jika terbukti, bisa dijerat dengan hukuman penjara 20 tahun atau pidana minimal 4 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Aliambri Matiala terkait somasi kedua ini.
Polemik ini pun menjadi perhatian banyak pihak, mengingat kaitannya dengan nasib ratusan penambang rakyat di wilayah Boltim dan potensi gesekan antara kepentingan pribadi dan tugas publik seorang legislator. (***)